Setiap menjelang datangnya bulan April, dipastikan para pemilik salon di mana pun berada akan meraup sedikit keuntungan dibanding dengan hari-hari biasanya. Alasan ini berdasarkan pada kebiasaan yang ada dimana tanggal 21 April kelahirannya diperingati di sekolah-sekolah, instansi kantor, sejumlah pegawai daerah, dengan menggunakan kostum ala tempo dulu. Dan acara ini dikemas secara khusus untuk menghormati jasa-jasanya dalam memajukan (mendapatkan haknya) sebagai perempuan di Indonesia. Baik itu sebagai pendamping rumah tangga, hak mendapatkan pekerjaan, upah yang layak, pendidikan yang tinggi, maupun dalam kancah politik dan lain-lain.
Moral
Maraknya kasus perceraian, KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), pengiriman TKI di luar negeri (pembantu rumah tangga) yang illegal, kasus pemerkosaan, keterlibatan sindikat narkoba adalah contoh terjerumusnya perempuan modern Indonesia saat ini. Dan ini merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi lembaga HAM di Indonesia. Selain kasus diatas, masih banyak lagi sederet kasus lain yang lebih berat yang harus dihadapi “ cita-cita” Kartini di era globalisasi. Jika semakin hari semakin menumpuk kerusakan moral darikejahatan-kejahatan diatas, maka “cita-cita “ Kartini pun lambat laun benar-benar akan luntur, sedikit demi sedikit akan redup dan tamatlah kesempatan perempuan Indonesia untuk menjaga “cita-cita” Kartini yang sederhana dan mulia ini di era globalisasi.
Mythos
Memang masih banyak daerah-daerah tertinggal di negeri ini, serta minimnya perempuan mendapatkan pendidikan yang layak. Penyebabnya barangkali bukan faktor adat istiadat saja. Misalnya, sebagai budaya lama yang sampai saat ini masih berjalan, dimana perempuan hanya dijadikan sebagai objek semata dimata lelaki. Mulai dari bangun pagi (bangun tidur) isinya hanya “ dapur, sumur, dan kasur!” mithos ini segera dipatahkan! Oleh karena itu dalam rumah tangga peran orang tua untuk menyekolahkan anaknya, mendidik, melatih dalam memberikan nilai-nilai kepribadian khususnya anak perempuan mendapatkan porsi yang lebih tinggi.
Budaya membaca
Kartini besar karena banyak membaca tulisan-tulisan dari nama-nama besar di zamannya, seperti: Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder a(Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda. Pikirannya menjadi terbuka lebar, apalagi setelah membandingkan keadaan wanita di Eropa dengan wanita Indonesia. Sejak itu, timbullah keinginan beliau untuk memajukan perempuan pribumi yang pada saat itu berada pada status sosial yang rendah. Ia ingin memajukan wanita Indonesia melalui pendidikan. Untuk itu, beliau mendirikan sekolah bagi gadis-gadis di Jepara, karena pada saat itu ia berdomisili di Jepara. Muridnya hanya berjumlah 9 orang yang terdiri dari kerabat atau famili. (biografi pahlawan.com)
Di kancah politik
Bagaimanakah peran perempuan Indonesia dikancah kekuasaan negeri ini !? Kaum perempuan seolah-olah hanya sebatas sebagai pelengkap saja. Sehingga belum bisa memberi peta dan warna kekuatan politik yang diandalkan sebagai penyeimbang kekuatan politisi laki-laki. Andai saja pemberian proporsi anggota legislatif quota 30 % terpenuhi dalam pemilu 2014 maka indikatornya mesin politik sehat. Kalau kehidupan politik ini sehat barangkali semua aspek kehidupan baik itu sosial, ekonomi dan budaya menjadi lebih stabil. Kestabilan sosial ekonomi dan budaya tentunya akan menguntungkan investasi asing masuk ke Indonesia.
Penutup
Menjaga dan memberi kesempatan emansipasi wanita Indonesia sama saja membangun sebuah negeri yang kaya raya ini menuju sebuah peradaban budaya yang dicita-citakan RA Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang “ majulah perempuan-perempuan Indonesia..
dikutip :dari beberapa sumber
0 komentar:
Post a Comment